Tuesday 13 February 2018

Gunungan dan Gending

Posted by ilmu dasar kehidupan On 00:52 | No comments
GUNUNGAN DAN GENDING 
DALAM PEWAYANGAN
















A.    Pendahuluan
Wayang Purwa adalah sebagai pralambang kehidupan manusia di dunia ini, atau wayang purwa adalah bagian dari macam yang ada, diantaranya wayang gedhog, wayang madya, wayang klithik purwa, wayang wahyu, wayang wahana dsb.
Wayang Purwa sudah ada pada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama kalinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana, yang dipentingkan bukan bentuk wayang, tetapi bayangan dari wayang tersebut.
Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang, bentuk wayang pun ikut berubah. Perkembangan wayang pesat pada jaman wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan yang ikut merubah bentuk wayang sehingga lebih indah bentuknya. Langkah penyempurnaan agung hanyakrakusuma, jaman kerajaan pajang, kerajaan Surakarta jaman Paku Buwana banyak sekali penyempurnaan bentuk wayang, sehingga banyak bentuk yang seperti ini.
Ada bagian wayang yang sangat penting yaitu Gunungan dan Gendhing. Gunungan atau disebut juga dengan kayon adalah gambar wayang yang bentuknya mirip sepucuk gunung yang mencuat tinggi keatas. Sedangkan, gendhing adalah music untuk mengiringi sebuah pagelaran wayang. Disini akan dijelaskan makna dari Gunungan dan Gendhing pada sebuah pagelaran wayang purwa.

  
A.    Penjelasan
Dibawah ini akan dijelaskan makna dari Gunungan dan Gendhing.
1.      Gunungan
Dinamakan Gunungan karena bentuknya mirip sepucuk gunung yang mencuat tinggi keatas. Adapun kita melihat gunungan yaitu pada saat pakeliran belum dimulai, gunungan ditancapkan tegak lurus ditengah kelir pada batang pisang bagian atas. Gunungan ini dalam legendanya berisi mitos sangkan paraning dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini dan disebut juga kayon. Kata kayon melambangkan semua kehidupan yang terdapat di dalam jagad raya yang mengalami tiga tingkatan yakni:
Tanam tuwuh (pepohonan) yang terdapat di dalam gunungan, yang orang mengartikan pohon Kalpataru, yang mempunyai makna pohon hidup.
Lukisan hewan yang terdapat di dalam gunungan ini menggambarkan hewan- hewan yang terdapat di tanah Jawa.
Kehidupan manusia yang dulu digambarkan pada kaca pintu gapura pada kayon, sekarang hanya dalam prolog dalang saja.
Kayon atau gunungan yang biasanya diletakkan di tangah kadang disamping itu mempunyai beberapa arti, arti dari diletakkannya gunungan ada 3 yakni:
  • Dipergunakan dalam pembukaan dan penutupan, seperti halnya layar yang dibuka dan ditutup pada pentas sandiwara.
  • Sebagai tanda untuk pergantian jejeran (adegan/babak).
  • Digunakan untuk menggambarkan pohon, angin, samudera, gunung, guruh, halilintar, membantu menciptakan efek tertentu (menghilang/berubah bentuk).
Tetapi jika pakeliran sudah dimulai maka gunungan ditancapkan pada simpingan bagian kanan dan kiri. Gunungan dilambangkan keadaan dunia dan isinya, sebelum wayang dimainkan gunungan ditancapkan ditengah-tengah kelir agak cenderung kekanan, yang artinya dunia ini masih kosong, yang ada hanyalah Pengeran Jati “Pandhapi Suwung”. Gunungan merupakan simbol kehidupan, jadi setiap gambar yang berada di dalamnya melambangkan seluruh alam raya beserta isinya mulai dari manusia sampai dengan hewan serta hutan dan perlengkapannya. Gunungan dilihat dari segi bentuk segi lima, mempunyai makna bahwa segi lima itu lima waktu yang harus dilakukan oleh agama adapun bentuk gunungan meruncing ke atas itu melambangkan bahwa manusia hidup ini menuju yang di atas yaitu Allah SWT.
ü  Bentuk Umum Kayon
Apabila di amati secara jelas maka kayon terbagi menjadi dua bentuk. Pembagian bentuk tersebut adalah setengah bagian atas berbentuk segitiga dan setengah bagian bawah berbentuk segiemat. Bilangan dua (2) tersebut apabila dihubungkan dengan lingkungngan maka melambangkan isi dunia (isen-isene donya), contoh waktu yaitu siang dan malam, jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan, tempat yaitu atas dan bawah, sisi yaitu kanan dan kiri, kelakuan yaitu baik dan buruk, hukum yaitu benar dan salah, rasa yaitu pahit dan manis, suasana yaitu senang dan susah, ukuran yaitu berat dan ringan, dan lain-lainnya.
1)      Bentuk Segitiga
Bentuk kayon setengah bagian atas adalah bentuk segitiga yang mempunyai tiga sisi. Angka tiga melambangkan perjalanan kehidupan, yaitu permulaan, pertengahan, akhiran (purwa, madya, wasana), yang artinya adalah bahwa, kehidupan itu dari tidak ada, menjadi ada, dan kembali menjadi tidak ada yang lebih dikenal dengan istilah sangkan paraning dumadi yaitu lahir, hidup dan mati. Ucapan dalang pada saat wayang sumbar khususnya dalang Jawatimuran, akan menyebutkan tiga hal sebagai peringatan terhadap musuh. Tiga hal peringatan tersebut adalah sebagai berikut “pisan tak sepura, pindho kalamerta, ping telu rad pengadilan”, yang artinya pada saat 87 bertempur di meda perang, kekalahan pertama akan di maafkan, kekalahan kedua anjuran untuk memilih maju atau mundur, kekalahan ketiga berarti mati.

2)      Bentuk Segiempat
Bentuk kayon setengah bagian bawah adalah segiempat yang menunjukan arah kiblat, yaitu utara, selatan, timur, barat. Dalam kehidupan melambangkan nafsu pada diri manusia, yaitu aluamah, supiah, mutmainah dan amarah (empat nafsu manusia). Sedangkan bentuk keseluruhan kayon adalah meruncing ke atas, hal tersebut dapat diartikan bahwa semua kehidupan akhirnya akan menyatu dan kembali menuju ke Yang Satu, yaitu ke Yang Maha Kuasa.
ü  Fungsi Kayon
Adapun yang dimaksud fungsi kayon adalah untuk melambangkan dan menggambarkan berbagai hal yang tidak dapat di wujudkan secara nyata sehingga hanya merupakan lambang dan gambaran-gambaran saja. Fungsi kayon tersebut di antaranya adalah sebagai lambang benda mati, contoh batu, tanah, air dan lain-lainnya, sebagai lambang benda hidup, contoh manusia, binatang, pohon, dan lain-lainnya, alih adegan atau beralih tempat, contoh dari adegan jejer ke adegan bedholan, dari adegan paseban njaba ke adegan perang, dan lain-lainnya, alih pathet yang di bagi menjadi tiga bagian, yaitu pathet Wolu, pathet Sanga, pathet Serang (pedalangan Jawatimuran), pathet Nem, pathet Sanga, pathet Manyura (pedalangan Surakarta). Ketiga pathet tersebut melambang kehidupan manusia di masa kecil atau kanak-kanak, di masa remaja, dan di - masa tua.
Kegunaan gunungan dipakai juga buat tanda akan mengganti cerita. Gunungan terdapat pada setiap pagelaran wayang, misalnya: wayang purwa, wayang gedog, wayang krucil, wayang golek, wayang suluh, dsb. Jenis kayon atau gunungan terbagi menjadi dua, yaitu:
a.      Kayon gapuran (Laki-laki)
Gunugnan Gapuran (Gerbang) sendiri digunakan pada masa pemerintahan Suushunan Pakubuwono 2, dengan sengkalan ” Gapura lima retuning bumi” 1659 J=1734 M.
     Adapun ciri-ciri kayon gapuran adalah sebagai berikut:
1)      Bentuk ramping
2)      Lebih tinggi dari kayon Blumbungan
3)      Bagian bawah berlukisan gapura
4)      Samping kanan dan kiri dijaga dua raksasa kembar yaitu Cingkarabala dan Balaupata
5)      Bagian belakang berlukisan api merah membara


Gambar Kayon didalamnya  ada:
1)      Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga
2)      Dua raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng, sebagai perumpamaan pintu gerbang istana dan dipergunakan pada waktu wayang bermain di istana.
3)      Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon.
4)      Gambar hutan belantara dengan suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya, hal tersevut menggambarkan kehidupan di dalam hutan
5)      Gambar macan berhadapan dengan banteng
6)      Pohon besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan, merupakan kehidupan didalam hutan
7)      Dua kepala makara ditengah pohon
8)      Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas pohon
9)      Dua ekor ayam hutan sedang bertengger diatas pohon
10)   Di belakang gunungan ada gambar warna merah, dibuat perumpamaan api yang mempunyai makna hawa nafsu seseorang yang berkobar-kobar seperti api.
b.      Kayon Blumbangan (Perempuan)
Di balik  gunungan Blumbangan ini dapat kita lihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan candrasengkalan yang berbunyi “geni dadi sucining jagad” yang mempunyai arti 3441 dan apabila dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Itu diartikan bahwa gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka= 1521 Masehi pada masa pemarintahan Raden Patah.
Cirri-ciri:
1)      Bentuk gemuk
2)      Lebih pendek dari kayon gapuran
3)      Bagian bawah berlukisan kolam dengan air yang jernih
4)      Ditengah ada gambar ikan berhadap-hadapan ditengah kolam
5)      Bagian belakang berlukisan awan putih

  
c.       Kesimpulan dari kedua kayon
Dalam kayon terdapat ukiran-ukiran atau gambar yang diantaranya :
·         Rumah atau balai yang indah dengan lantai bertingkat tiga melambangkan suatu rumah atau negara yang di dalamnya ada kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia.
·         Dua raksasa kembar lengkap dengan perlengkapan jaga pedang dan tameng. diinterprestasikan bahwa gambar tersebut melambangkan penjaga alam gelap dan terang
·         Dua naga kembar bersayap dengan dua ekornya habis pada ujung kayon.
·         Gambar hutan belantara yang suburnya dengan kayu yang besar penuh dengan satwanya.
·         Gambar ilu-ilu Banaspati melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan, tantangan dan mara bahaya yang setiap saat akan mengancam keselamatan manusia.
·         Pohon besar yang tinggi dibelit ular besar dengan kepala berpaling kekanan.
·         Dua kepala makara ditengah pohon melambangkan manusia dalam kehidupan sehari mempunyai sifat yang rakus, jahat seperti setan.
·         Dua ekor kera dan lutung sedang bermain diatas pohon dan dua ekor ayam hutan sedang bertengkar diatas pohon, macan berhadapan dengan banteng.
Menggambarkan tingkah laku manusia.
Kebo = pemalas
Monyet = serakah
Ular = licik
Banteng = lambang roh , anasir tanah , dengan sifat kekuatan nafsu Aluamah
Harimau = lambang roh , anasir api dengan sifat kekuatan nafsu amarah, emosional, pemarah
Naga = lambang Roh , anasir air dengan sifat kekuatan nafsu sufiah
Burung Garuda = lambang Roh , anasir udara dengan sifat kekuatan nafsu Muthmainah.
·         Gambar raksasa digunakan sebagai lambang kawah condrodimuka, adapun bila dihubungkan dengan kehidupan manusia di dunia sebagai lambang atau pesan terhadap kaum yang berbuat dosa akan di masukkan ke dalam neraka yang penuh siksaan.
·         Gambar samudra dalam gunungan pada wayang kulit melambangkan pikiran
·         Gambar api merupakan simbol kebutuhan manusia yang mendasar karena dalam kehidupan sehari-hari akan membutuhkannya.
·         7 anak tangga: berarti tujuan atau PITUtur (pemberitahuan) bahwa kita semua yang bernama hidup pasti mati kullu nasi dha ikhotul maut “.
·         Gerbang/pintu selo manangkep: pintu alam kubur yang kita tuju.
·         Pohon hayat: jalan hidup seseorang yang lurus dan mempunyai 4 anak cabang yang menjadi perlambang nafsu kita dan banyak anak cabangnya.
Sedangkan dari filosofi bentuk adalah : bentuk gunungan sendiri menyerupai serambi bilik kiri yang ada di dalam tubuh kita, itu mungkin mempunyai makna kalau kita harus menjaga apapun yang ada di dalam hati kita hanya kepada sang pencipta. Dan yang lebih hebat lagi adalah dari segi bentuk yang persisi dengan “mustoko” di atas masjid yang ada banyak di negara kita. itu perlambang dari sipembuat untuk kita supaya menjaga hati kita secar lurus (seperti pohon) kepada masjid/agama/tuhan.
Gunungan bisa diartikan lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma, sedang bentuknya yang segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsure cipta, rasa dan karsa. Sedangkan lambang gambar segi empat lambing sedulur papat dari anasir tanah, api , air, udara.
Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang, menurut kepercayaan hindu, secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudlah alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinamakan Panca Maha Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara-setan), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin), dan Bantala (bumi-tanah).
Makara yang terdapat dalam pohon Kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma mula, yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan dari Sang hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup.
Berkumpulnya Brahma mula dengan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah di bawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang menggambarkan air berombak. Dari kelima zat tersebut bercampur menjadi satu dan terwujudlah badan kasar manusia yang terdiri dari Bani, Banyu, Bayu, dan Bantala, sedang Banu merupakan zat makanan utamanya.

2.      Gendhing
Gending Jawa adalah alunan musik atau irama yang disajikan dalam bahasa Jawa. Gending Jawa bisa berupa gendinggiro, macapat, karawitan, campusari, maupun uyon-uyon. Ketujuh gendhing Patalon tersebut tak lain dimaksud simbol dari ketujuh pangkat “Penjelmaan Dzat” atau ketujuh martabat, yaitu : Pohon dunia, Cahaya (Nur), Cermin, Wajawa (roh idhafi), Dian (kandil), Permata (dharrah) dan dinding jalal (penjelmaan alam insan kamil). Di samping itu Patalon juga merupakan pernyataan karya dari yang menanggap wayang, bahwa pertunjukan wayang akan segera dimulai. Namun dalang (roh) belum kelihatan atau menjelma.
Bila gendhing Patalon sudah selesai, barulah dalang naik panggung, kemudian dia memukul atau ndhodog kotak lima kali sebagai tanda bahwa jejer atau adegan dimulai (Sri Mulyono, 1989: 107). Permainan gendhing patalon bertujuan untuk membuat suasana menjadi khas, spiritual dan magis (Palgunadi, 2002: 139).
Gendhing-gendhing tujuh macam itu tampaknya disesuaikan dengan keberadaan manusia sebelum lahir. Keterangannya demikian :
1.      Cucur bawuk
Nama cucur bawuk bisa diartikan kemaluan anak kecil yang masih polos, bentuknya seperti “kue cucur”, sehingga dapat diartikan sebagai kehidupan anak-anak yang masih polos, dan orisinil. Kata cucur bawuk sebagai sebutan nama gendhing mempunyai makna tersirat lahirnya seorang bayi dari seorang ibu akibat buah cinta orang tua. Mengucur melambangkan perjuangan berat dengan taruhan nyawa. Makna tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perjuangan yang harus dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan ataupun kesuksesan.
Maksud Cucur adalah makanan yang terbuat dari tepung beras berbentuk bulat seperti serabi digoreng. Sedangkan bawuk adalah warna coklat keabuabuan, atau panggilan buat anak perempuan kecil.
2.       Pare anom
Dapat diartikan buah pare yang masih muda dan segar. Ini menggambarkan masa remaja yang penuh suka ria
Dan dapat diartikan sebagai  buah pare anom yaitu buah yang masih muda warnanya hijau kekuning-kuningan atau maya-maya, warna yang sangat menarik. OrangJawa menyebut dengan istilah edi peni atau puncak keindahan.
3.      Ladrang Srikaton
Yang berirama lincah, dinamis dan agung. Menggambarkan sebagai puncak kehidupan manusia di dunia. Maksud Ladrang Srikaton gendhing yang berisi dua cengkok, disesuaikan dengan proses kelahiran manusia terjadi dari dua jenis yang sifatnya berbeda. Manusia memang harus mencapai cita-cita dengan proses ilmu laku, usaha tekun dan kerja keras.
4.      Suksma ilang
Memasuki masa paro ketiga atau yang terakhir adalah masa-masa seorang harus sudah mendekatkan diri pada Sang Khalik, sebagaimana diisyaratkan dalam gendhing ketawang Sukma Ilang (sukma melayang) yang bernuansa penuh kesedihan.
Dan juga bisa diartikan sebagai Suksma ilang yaitu berkaitan dengan proses kematian, tetapi tidak diartikan mati. Suksma atau roh yang dikehendaki oleh Tuhan hilang dari pria bersama air mani yang lepas menuju rahim wanita. Dalam arti yang lebih luas orang mesti ingat asal usulnya.
5.      Ayak-ayakan
Maksud ayak-ayakan bisa diartikan alat untuk menyaring tepung yang cara mengerjakan harus dengan digerak-gerakkan. Ayak-ayakan suatu gendhing yang iramanya pelan, tiap gatra diakhiri dengan gong suwukan suatu irama yang nikmat sekali didengar. Kadang-kadang juga menimbulkan suasana yang halus dan nikmat.
6. Srempegan
Maksud srempegan berarti irama ditingkatkan makin kencang. Srempeg berarti suatu pekerjaan yang dituntut supaya cepat selesai lagunya sebenarnya sama dengan ayak-ayakan, hanya kencang dan tiap gatra diakhiri kempul pada tempat tertentu dengan gong suwukan, sebagai tanda henti. Disaat detik-detik nyawa seseorang meninggalkan tubuhnya, digambarkan dengan gendhing yang berirama cepat dan menghentak
7.      Sampak
Maksud sampak adalah sangat cepat dan padat. Sebenarnya lagunya sama dengan srempegan, tetapi iramanya ditingkatkan menjadi lebih kencang, kempul mengisi tiap ricikan lainnya sehingga berkesan irama panas. Ini berarti klimaks dari enam gendhing yang telah dimainkan tadi. Setelah irama puncak secara pelan-pelan sratana menjadi jinem, tenang, tenteram dan hening. Itulah suasana yang suwung, sunyaruri, hening dan kontemplatif. Sebagai gambaran sakaratul maut yang dikomposisikan dengan irama yang begitu cepat dan kendang yang menghentak=hentak, laksana hentakan sang pencabut nyawa dalam mencabut  nyawa.



B.     Kesimpulan
Dari andaran diatas dapat disimpulkan bahwa gunungan dibagi menjadi dua, yaitu kayon Gapuran dan kayon Blumbangan. Gunungan dalam legendanya berisi mitos sangkan paraning dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini dan disebut juga kayon. Dinamakan Gunungan karena bentuknya mirip sepucuk gunung yang mencuat tinggi keatas.
Sedangkan, Gending Jawa adalah alunan musik atau irama yang disajikan dalam bahasa Jawa. Gending Jawa bisa berupa gendinggiro, macapat, karawitan, campusari, maupun uyon-uyon. Ketujuh gendhing Patalon tersebut tak lain dimaksud simbol dari ketujuh pangkat “Penjelmaan Dzat” atau ketujuh martabat, yaitu : Pohon dunia, Cahaya (Nur), Cermin, Wajawa (roh idhafi), Dian (kandil), Permata (dharrah) dan dinding jalal (penjelmaan alam insan kamil). Di samping itu Patalon juga merupakan pernyataan karya dari yang menanggap wayang, bahwa pertunjukan wayang akan segera dimulai

  







DAFTAR PUSTAKA
Carita, Dwija. 2001. Ringkasan Pengetahuan Wayang. Sukoharjo Solo : Cendrawasih.
Endraswara, Suwardi. 2006. Mistik Kejawen: Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi
Pandji, Sudiyanto. 2011. MENGENAL GENDING JAWA (Bagian – I)
http://460033.blogspot.com/2011/01/makna-filosofis-gendhing-cucur-bawuk.html

0 comments:

Total Pageviews

anti block

G.ads