Folklor Mojokerto
A.
Gambaran Masyarakat Tempat Tumbuhnya Folklor Jawa
Mojokerto adalah suatuu
daerah yang adi luhung dengan kalimat lain yaitu daerah yang masih memperhatikan
budaya serta tradisi-tradisi yang dturunkan oleh leluhur. Banyak
tradisi-tradisi dan kebudayaan di setiap kecamatan yang ada dalam kabaten
Mojokerto terutama berada pada kecamatan Trowulan. Setiap tahun Trowulan selalu
mengadakan pagelaran wayang dan kirab lebih tepatnya pada waktu malam-malang
menjelang tanggal 10 Sura (bulan Jawa) dan bertempat di Pendapa Agung Trowulan.
Bahkan setiap bulan malam Jumat Wage, di pendapa juga mengadakan macapatan yang
diikuti oleh orang-orang sekitar Trowulan bahkan pesertanya ada yang dari luar
Mojokerto. Memang kecamatan Trowulan salah satu kecamatan yang tampak dalam pelestarian
budaya Mojokerto. Tapi, jangan disangka luar kecamatan Trowulan tidak
melestarikan budaya dan tradisi yang ada. Kecamatan-kecamatan lain yang berada
dalam kawasan Mojokerto juga tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang berlaku,
seperti halnya pada bulan ruwah. setiap kecamatan mengadakan ruwahan juga
disebut bersih desa atau juga ruwat desa. Fungsi dari kegiatan itu untuk
menghalau penyakit-penyakit atau halangan yang dating pada desa dan juga
membersihkan desa dari perbuatan-perbuatan yang kurang baik dari orang-orang
dalam desa.
Tetapi pada pembahasan
kali ini yang akan dijelaskan bagaimana gambaran masyarakat di kecamatan
Gondang. Gondang salah satu kecamatan dalam kawasan Mojokerto. Bertempat di
sebelah selatan dengan lingkungan yang asri karena disekitar kawasan Gondang
adalah pegunungan dan perbukitan. Pendapatan masyarakat di daerah ini (Gondang)
kebanyakan adalah petani, pedagang, dan pencari kayu di hutan. Tetapi lambat
laun seiring berkembangnya jaman daerah Gondang tepatnya sebelah utara (Gondang
Utara) banyak orang-orang yang bekerja sebagai pedagang dan PNS. Meskipun begit
nenek moyang dari Gondang adalah petani sehingga dominan pekkerjaan mereka
adalah petani.
Jika dipandang budaya
dan tradisi yang berlaku, Kecamatan Gondang juga termasuk daerah yang masih
mempertahankan tradisi. Seperti yang dijelaskan diatas. Memasuki bulan Ruwah
yaitu salahh satu bulan Jawa Gondang selalu turut mengadakan bersih desa atau
sering disebut Ruwahan. Acara yang digelar dengan mengadakan tumpengan, pagelaran
Murwakala di siang hari, keudian dilanjutkan campursari pada sore hari, ketika
malam pagelaran wayang kulit semalam suntuk.
Daerah Gondang memang
lumayan agak luas disbanding kecamatan lainnya. Banyak yang bilang anak-anak
dari Gondang adalah anak yang ramah, itu menandakan bahwa adat yang berlaku di
Gondang adalah keramahan. Didikan orang tua tak luput dari sifat terpuji,
kemungkinan daerah pegunungan masih mengutamakan sifat andhap asor teradap
orang lain.
B.
Makna dan Fungsi Folklor Jawa yang Berhubungan dengan Kritik Sosial
Ada beberapa folklore lisan yang berlaku
di kawasan ini dengan maksud mengkritik orang-orang yang telah melakukan
kesalah, seperti dibawah ini:
“Gajah ngideg rapah”. Kalimat tersebut
adalah ungkapan yang terkadang dikatakan orang-orang kepada orang atas. Maksud Gajah Ngidag Rapah adalah orang yang
membuat aturan sendiri, tetapi dilanggar sendiri. Sehingga masyarakat jika mengetahui ketuanya dalam arti kepala
RT, Dusun, Desa dan pemerintah lainnya, mereka selalu mengatakan kalimat
tersebut dengan fungsi mengkritik atasan dengan bahasa yang khas dan supaya
atasan mengerti bahwa bawahan atau masyarakat sedang memiliki masalah dengan
peraturan tersebut.
Itu satu unen-unen yang berlaku di
masrakat Gondang, adapun parikan yang berbunyi “Lombok abang gak pedes, wis
Gerang gak nages”. Parikan tersebut berdialeg Surabaya-Mojokerto. Orang-orang
dewasa yang mengetahui seseorang yang bermain dengan anak kecil padahal dirinya
sudah dewasa contoh anak SMA bermain dengan anak SD, dengan spontan orang-orang
akan berpantun “Lombok abang gak pedes, wis gerang gak nages”. Maksud dari
pantun atau parikan tersebut
adalah seseorang yang sudah dewasa tapi masiih berkepribadian anak-anak. Jelas-jelas
hal ini tidak patut dikalangan orang Jawa meskipun tidak menyalahi aturan.
Folklor lain yang memiliki unsur kritik
sosila juga berbentuk unen-unen, seperti dibawah ini.
Tumbak
cucukan, biasanya frase tersebut digunkan masyarakat
Gondang, Mojokerto dalam kalimat seperti ini, “Ooo, dadi wong kok senengane tumbak cucukan.”
Kata-kata tumbak cucukan sebenarnya memiliki maksdu dan makna orang yang suka
mengadu domba, memecah belah kerukunan. Sehinga masyarakat menyebut mereka
dengan tumbak cucukan. Fungsi dari kata tersebut berlaku untuk mengkritik orang
tersebut sehingga dia sadar akan kelakuannya yang tidak benar.
Ungkapan laing yang hamper mirip dengan
diatas terdapat pada ungkapan selanjutnya yang termasuk dalam folklor lisan
seperti kata “Nabok nyilih tangan”. Orang yang suka menyakiti orang lain tetapi
menggunakan orang lain untuk menyakiti orang tersebut. Seperti halnya menyewa
orang untuk menganiyaya orang lain. Kata tesebur selalu muncul jika terdapat
orang yang melakukan hal tersebut. Fungsi dari ungpakan seperti itu adalah
mengkritik serta mencemooh agar si orang yang bersangkutan sadar atas kelakukannya
yang tidak tepat, memang hamper sama dengan kata-kata yang diatas.
Folklor lisan lain yang ditemukan di
daerah Gondang Mojokerto terdapat pada ungkapan berikut, Cathek gawel. Ungkapan
seperti ini muncul ketika ada seseorang yang kemudian ikut campur dalam omongan
orang lain padahal orang tersebut dari awal tidak ikut dalam pembicaraan. Orang
Gondang tidak bisa mentolansi hal tersebut, adat mereka tidak menyukai orang
yang tiba-tiba ikut dalam pembicaraan. Maka mereka sering menyebut dalam
kalimat “dadi bocah aja seneng nyathrk gawel”. Fungsi dari folklore
lisan ini untuk piweling atau menasehati orang-orang bahkan yang
terutama anak-anak supaya jangan ikut campur urusan orang lain, mengurus diri
sendiri saja belum tentu bisa teratasi.
Ada juga kritik yang digunakan untuk
menasehati para wanita, folklore tersebut berbunyi “wong wedok kudu isok
telung M”. Telung M yang dimaksug dalam folklore lisan tersebut ialah masak,
macak, manak, yang memiliki makna seorang wanita harus bisa menguasai
ketiga hal penting yang tidak lain ialah belajar memasak untuk keseharian
keluarga, merias wajah untuk suami yang telah memberikan nafkah keluarga, dan
melahirkan. Sebagai wanita yang normal ialah melahirkan ketika sudah waktunya.
Fungsi dari folklore ini ialah sebagai nasehat orang tua kepada setiap wanita
yang ada didaerah tersebut, bahwasannya wanita memiliki kewajiban itu.
C.
Makna dan Fungsi Folklor Jawa yang Berhubungan dengan Pendidikan
Untuk folklo yang berhubungan dengan
pendidikan ialaha pendidikan sopan santu, yang biasanya orang tua mengatakan
kepada anaknya ang tengah duduk diantara pintu yang terbuka, seperti berikut “Aja
mangan lungguh tengah lawang”. Pintu
adalah jalan utama untuk memasuki rumah, jadi itu merupakan perlambang
penghambat untuk masuknya rejeki ke dalam keluarga. Fungsi dari kalimat
tersebut untuk menasehati kepada anak dan memberikan pendidikan perilaku yang
baik. Sopan santun merupakan hal yang paling utama di kalangan Gondang.
Folklor lain yang ditemukan di daerah
Gondang, Mojokerto ialah ”Aja mangan brutu marai pikun”. Folklor ini
selalu muncul ketika terdapat anak kecil yang hendak memakan brutu
bagian belakang lauk ayam. Orang tua selalu mengatakan hal tersebut sehingga
sang anak tidak akan memakan lauk tersebut. Makna yang terdapat pada folklore
ini sebenarnya bertujuan semoga anak itu ingat bahwa daging yang kenyal itu
diberikan kepada orang tua bukan anak. Dalam kata lain semoga anak selalu ingat
kepada orang tua. Fungsi yang tersirat dalam kalimat ini sebenarnya tidak jauh
dari folklore yang diatas. Bertujuan memberikan nasehat kepada anak, memberikan
pendidikan unggah-ungguh, kesopan santunan anak terhadap orang yang lebih
dewasa.
Ada juga folklore yang berkembang sampai
sekarang seperti “Yen teka kuburan adus dhisik”. Memiliki makna bahwa
pemakaman adalah tempat yang penuh debu, sehingga anak atau orang yang habis
dari makam hendaknya mandi terlebih dahulu. Fungsi yang terkandung memiliki
peran pendidikan yang berupa nasehat
menganjurkan menjaga kesehatan.
Folklor yang lain seperti “Aja seneng
tukaran mengko dadi bedhes”. Makna dari kalimat ini ialah menjaga
persaudaraan itu penting jangan saling bermusuhan. Orang yang sering bertengkar
satu sama lain terlihat persis seperti binatang kera, maka dari itu folklore
yang berkembang menjadi seperti itu. Fungsi yang ditemukan dalam folklore ini
ialah pendidikan moral, kita harus saling menjaga penghormatan. Saling
menghargai terhadap sesama.
Adapun ketika orang sedang menanak nasi
folklore lisan juga sering muncul “yen adang aja ditinggal”. Yang
berarti kalau sedang menanak nasi jangan pernah ditinggal. Tetapi saat ini
folklor jarang digunakan karena kebanyakan keluarga menanak nasi dengan
menggunakan rice cooker. Walaupun demikian folklore lisan ini memiliki makna
mengajari tentang kesabaran untu menuju keberhasilan. Fungsi yang terdapat pada
kalimat ini juga sebagai ajaran yang mengasah ketekunan dan keuletan.
D.
Makna dan Fungsi Folklor Jawa yang Berhubungan dengan Lingkungan
Adapun juga folklore yang memiliki
hubungan dengan lingkungan. Folklore ini digunakan orang-orang terdahulu unutk
menjaga lingkungan sekitar agar tetap terjaga keasrianya. Sehingga tetap teduh
dan rindang. Folklore pertama yang ditemukan di Gondang ialah “Aja nebang
wit pring kuning pinggir kali mengko bisa kowe cilaka”. Folklore ini
berkembang untuk menakuti orang-orang agar tidak menebang pohon. Makna lain
yang tersirat dalam folklot ini ialah menjaga lingkungan sekitar dan fungsinya
ialah agar tidak ada orang-orang yang merusak lingkungan, sehingga tetap tumbuh
sedap dipandang.
Ditemukan juga folklore yang masih
berkembang sampai sekarang “Aja nyebak iwak buri kuburan mengko ditekani
sing duwe”. Lingkungan sekitar juga termasuk perkembangan hewan air,
termasuk ikan dibelakang pemakaman. Maksud dari diparani sing duwe ialah
setan penghuni kuburan. Folklore ini memiliki makna agar menjaga komunitas
ikan-ikan agar tidak hilang. Fungsi ini memberikan nasehat agar orang menjaga
keasrian lingkungan.
Dirumah juga terdapat folklore yang masih
berkembang sampai sekarang yaitu “Yen nyapu omah sing resik mengko bojone
brewok”. Folklore ini selalu ada ketika seorang gadis kecil yang menyapu
rumah. Seketika juga ibu mengatakan folklore tersebut. Sebenarnya folklore ini
memiliki makna agar si gadis menjaga kebersihan rumah, karena kebanyakan dari
gadis-gadis takut dengan orang yang memiliki jenggot dan kumis yang tebal.
Fungsi dari folklore ini ialah sebagai nasehat untuk menjaga kebersihan
lingkungan rumah.
E.
Kesimpulan
Folklor-folklor di
daerah Gondang masih bisa ditemukan, bahkan masih banyak yang belum terungkap. Setiap
folklor-folklor yang ada dan berkembang dimasyarakat memiliki makna dan fungsi
tersendiri. Terdapat makna dan fungsi dalam folklor untuk mengkritik orang lain
ketika mereka melakukan kesalan, ada juga yang berfungsi untuk menjaga
lingkungan agar terlihat tetap asri menjaga dari tangan-tangan yang tidak
bertanggung jawab. Bahkan ditemukan juga folklor-folklor lisan yang berfung
mendidik orang agar menjadi orang yang lebih baik, diawali dari pendidikan
moral, etika, dan juga pengetahuan. Demikian folklore-folklor yang telah
ditemukan di daerah Gondang Mojokerto.