MAKALAH
KEBUDAYAAN JAWA
“Kearifan Lokal Di Mojokerto”
Disusun oleh:
Wisnu Prasetyo Bekti
13020114002
KELAS 2013 A
UNIVERSITAS NEGERI
SURABAYA
FAKULTAS BAHASA
DAN SENI
JURUSAN S1.
PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA JAWA
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat
serta hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah mata kuliah “KEBUDAYAAN JAWA”. Kemudian
shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang
telah memberikan pedoman hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan
umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Kebudayaan
Jawa di Jurusan Pendidikan dan Sastra Jawa Fakultas Bahasa dan Seni, UNESA.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Sri
Wahyu W. M.Si selaku dosen pembimbing mata kuliah
Kebudayaan Jawa dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta
arahan selama penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan
ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya
pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat penulis harapkan.
Mojokerto,
30 Desember 2013
Wisnu
Prasetyo Bekti
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
....................................................................................................... 01
Daftar Isi ................................................................................................................ 02
BAB I PENDAHULUAN
03
A.
Latar
Belakang .................................................................................. 03
B.
Rumusan Masalah ............................................................................. 03
C.
Tujuan .............................................................................................. 03
BAB II ISI 04
A. Pengertian
..........................................................................................
04
B. Ciri-ciri Kearifan Lokal
..................................................................... 04
C. Kearifan Lokal
yang Masih Hidup di Daerah Mojokerto .................. 05
BAB III PENUTUP 10
Daftar Rujukan
........................................................................................................
11
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wonoploso merupakan salah satu desa yang ada di daerah
Kabupaten Mojokerto bagian selatan tepatnya bersebelahan dengan bukit hijau
pesarean, sehingga desa tersebut
terlihat asri dan indah untuk dipandang. Masyarakat memanfaatkan bukit sebagai
lahan mata pencaharian tambahan untuk melengkapi keseharian. Disamping itu Wonoploso kaya akan kearifan
lokal seperti kebiasaan menanam aneka koro – Koroan guna penyubur tanah dan
sumber pangan berprotein, pemanfaatan berbagai jenis tumbuhan untuk beberapa
keperluan adat, kesehatan, pangan, serta
terdapat upacara-upacaraa, upacara wiwitan sebelum memanen padi, upacara
mitonan bagi orang yang sedang hamil, upacara siraman untuk kemanten.
Berbagai jenis upacara – upacara
selalu tidak terlupakan bagi masyarakat, seperti upacara tingkepan atau mitoni, masyarakat
selalu memilih tanggal, hari guna kebaikan bagi cakal bikal sang jabang bayi. Bukan hanya itu bahkan banyak bahan – bahan
yang disediakan dalam presepsi, seperti buah-buahahan, aneka bubur, sepasang
ayam, nasi kuning dan yang paling unik dari bahan – bahan yaitu 2 buah kelapa yang
digambari 2 pasang wayang, Kama Jaya dan Kama Ratih.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan ciri – ciri kearifan lokal ?
2. Apa saja kearifan lokal yang ada di
daerah Mojokerto ?
3. Bagaimana pula fungsi dan makna kearifan
lokal yang ada di daerah Mojokerto ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan denfinisi dan ciri – ciri dari kearifan lokal
2. Menyebutkan beberapa jenis kearifan lokal yang ada di Mojokerto
tepatnya kecamatan Gondang, desa Wonoploso
3. Mengetahui fungsi serta makna yang terkandung dalam kearifan
lokal yang ada di desa Wonoploso
BAB II
ISI
Budaya
Jawa mempunyai peranan penting dalam budaya Indonesia, termasuk bahasanya.
Bahasa Jawa menjadi salah satu pendukung atau pemerkaya bahasa Indonesia. Tidak
sedikit kosakata bahasa Jawa menjadi warga bahasa Indonesia. Untuk itu, tidak
berlebihan jika bangunan bahasa Indonesia ditopang oleh bahasa Jawa. Kearifan
lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan
lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya.
Menurut Gobyah nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional.
Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Dari penjelasan beliau dapat dilihat bahwa kearifan lokal merupakan langkah penerapan dari tradisi yang diterjemahkan dalam artefak fisik. Hal terpenting dari kearifan lokal adalah proses sebelum implementasi tradisi pada artefak fisik, yaitu nilai-nilai dari alam untuk mengajak dan mengajarkan tentang bagaimana ‘membaca’ potensi alam dan menuliskannya kembali sebagai tradisi yang diterima secara universal oleh masyarakat, khususnya dalam berarsitektur. Nilai tradisi untuk menselaraskan kehidupan manusia dengan cara menghargai, memelihara dan melestarikan alam lingkungan. Hal ini dapat dilihat bahwa semakin adanya penyempurnaan arti dan saling mendukung, yang intinya adalah memahami bakat dan potensi alam tempatnya hidup; dan diwujudkannya sebagai tradisi.
Definisi
kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang
ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan
lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang
baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya
nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang
tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling
menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal.
Ciri – ciri dari kearifan lokal yaitu
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi
budaya luar,
3. Memiliki kemampuan mengendalikan,
4. Mempunyai kemampuan mengintegrasi
unsure budaya luar ke dalam budaya asli,
5. Mampu member arah pada perkembangan
budaya.
I
Ketut Gobyah dalam “ Berpijak pada Kearifan lokal” mengatakan bahwa kearifan
lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam
suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nlai – nilai suci
firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai
keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografi dalam arti luas.
Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
S.
Swarsi Geriya “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” mengatakan bahwa secara
konseptual kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia
bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika. Cara-cara yang dianggap baik dan
benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Kearifan
lokal yang ada di Wonoploso serta makna dan fungsinya.
·
Upacara
Tingkeban/ Mitoni (Nujuh Bulanan)
Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat di Wonoploso, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali.Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan di sertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
Tata
Cara pelaksanaan Upacara Tingkeban :
Siraman
yang di lakukan oleh para sesepuh sebanyak 7 orang termasuk ayah dan ibu wanita
hamil serta suami dari calon ibu. Siraman ini bermakna memohon doa restu agar
proses persalinan lancar dan anak yang akan dilahirkan selamat dan sehat
jasmani dan rohani.
Setelah
siraman selesai, dilanjutkan dengan upacara memasukan telur ayam dan cengkir
gading. Calon ayah memasukan telur ayam mentah ke dalam sarung/kain yang di
kenakan oleh calon ibu melalui perut sampai pecah kemudian menyusul kedua
cengkir gading di teroboskan dari atas ke dalam kain yang di pakai calon ibu
sambil di terima di bawah oleh calon nenek dan kelapa gading tersebut di
gendong oleh calon nenek dan di letak kan sementara di kamar. Hal ini merupakan
symbol harapan semoga bayi akan lahir dengan mudah tanpa ada halangan.
Upacara Mecah Kelapa
Kelapa gading yang tadi di bawa ke kamar, kembali di gendong
oleh calon nenek untuk di bawa keluar dan di letak kan dalam posisi terbalik
(gambar tidak terlihat) untuk di pecah, Kelapa gading nya berjumlah 2 dan
masing masing di gambari tokoh Wayang Kamajaya dan Kamaratih. Calon ayah
memilih salah satu dari kedua kelapa tersebut.
Apabila
calon ayah memilih Kamajaya maka bayi akan lahir Laki laki, sedangkan jika
memilih Kamaratih akan lahir perempuan ( hal ini hanya pengharapan saja, belum
merupakan suatu kesungguhan)
Dodol Rujak
Pada
upacara ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah, para tamu
yang hadir membeli nya dengan menggunakan kereweng sebagai mata uang. Makna
dari upacara ini agar kelak anak yang di lahirkan mendapat banyak rejeki dan
dapat menghidupi keluarganya.
Selain itu ada makna lain yang
tersirat dari upacara tingkeban yaitu mempererat tali silahturohmi sesama
masyarakat dan juga mentradisikan budaya bangsa yang sudah ada sejak nenek
moyang.
Di desa Wonoploso juga ter dapat tradisi ruwahan berisi kegiatan melaksanakan
ritual yang dilakukan pada saat datangnya bulan Ruwah atau bulan Arwah. Bagi masyarakat desa Wonoploso khususnya
bulan Arwah mempunyai makna penting sebagai momentum bagi semua yang masih
hidup untuk mengingat jasa dan budi baik para leluhur, tidak hanya terbatas
pada orang-orang yang telah menurunkan kita, namun juga termasuk orang-orang
terdekat, para pahlawan, para perintis bangsa yang telah mendahului kita pindah
ke dalam dimensi kehidupan yang sesungguhnya. Bulan Arwah juga merupakan saat
di mana kita harus “sesirih”
atau bersih-bersih diri meliputi bersih lahir dan bersih batin. Membersihkan
hati dan pikiran sebagai bentuk pembersihan dimensi jagad kecil (mikrokosmos) yakni diri pribadi kita meliputi unsur
wadag dan alus, raga dan jiwa.
Tidak hanya sebatas pembersihan level mikrokosmos,
selebihnya adalah bersih-bersih lingkungan alam di sekitar tempat tinggal kita,
membersihkan desa, kampung, kuburan, sungai, halaman dan pekarangan di
sekeliling rumah, tak lupa membersihkan semua yang membuat kotor dan jorok
dalam rumah tinggal kita. Bagi petani tak luput pula bersih-bersih sawah dan
ladang. Semua itu sebagai bentuk pembersihan dimensi jagad besar (makrokosmos).
Selain makna tersebut, ritual ruwahan merupakan wujud bakti
dan rasa penghormatan kita sebagai generasi penerus kepada para pendahulu yang
kini telah disebut sebagai leluhur. Pelaksanaan
ritual ruwahan bukan tanpa
konsep dan prinsip yang jelas. Ruwahan didasari oleh kesadaran spiritual
masyarakat kita secara turun-temurun, di mana kita hidup saat ini telah
berhutang jasa, berhutang budi baik kepada alam dan para leluhur pendahulu yang
telah mendahului kita. Tak ada cara yang lebih tepat selain harus berbakti,
setia dan berbakti kepada para leluhurnya yang telah mewariskan ilmu dan harta
benda, termasuk bumi pertiwi, yang dapat dimanfaatkan oleh anak turunnya hingga
saat ini. Ritual tradisi Ruwahan
sebagai bukti kesetiaan dan sikap berbakti kepada lingkungan alam yang telah
memberikan berkah berupa rejeki, tempat berlindung, hasil bumi, oksigen dan
sebagainya. Karenanya hanya dengan kesetiaan serta berbakti, kita menjadi
generasi penerus yang tidak mengkhianati leluhur, bangsa dan bumi pertiwinya.
Berkhianat kepada para leluhurnya sendiri, maupun kepada bumi pertiwi di mana
tempat kita menyandarkan hidup sudah pasti akan menyebabkan suatu akibat buruk.
Pengkhianatan (ketidaksetiaan) dan kedurhakaan (tidak berbakti) yang
dilakukan generasi penerus, akan menimbulkan kesengsaraan pada diri pribadinya
(mikrokosmos) dan sangat memungkinkan tertransformasi ke dimensi makrokosmos
lingkungan alamnya. Sebaliknya, kesetiaan pada bumi pertiwi yakni bumi di
mana nyawa kita berpijak, kita hirup udara, kita mencari makan, dan berbakti
kepada para leluhur yang menurunkan kita, merupakan satu rangkaian berupa kunci
meraih kesuksesan hidup secara hakiki. Ketenangan, ketentraman, kedamaian,
kesejahteraan lahir dan batin akan berlimpah menghampiri kita setiap saat.
Makna
Ritual dan Sajian
Hantaran tradisi Ruwahan
berisi tiga sajian makanan yakni ketan,
kolak, dan apem yang
ketiganya mempunyai makna masing-masing:
- ketan, makanan ini merupakan simbol
eratnya tali silaturahmi, karena sifat dan bentuk ketan yang lengket.
- kolak, makanan yang diolah dengan
menggunakan santan yang manis, melambangkan hubungan kekeluargaan yang
selalu harmonis dan bahagia, serta mengajak persaudaraan bisa lebih
‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan.
- apem, makanan yang mempunyai arti
kesediaan untuk saling memaafkan. Kata apem berasal dari bahasa arab “afwan” yang bermakna maaf.
Doa dan makan bersama (kenduri) dalam ritus nisfu sya’ban
atau pada setiap malam hari selama seminggu sebelum ramadhan, merupakan bentuk
dari pengejawantahan dari kebersamaan, sikap kekeluargaan, dan cara untuk memakmurkan
masjid, serta meningkatkan kualitas sujud syukurnya pada Allah.
Tabur bunga merupakan bentuk dari cara masyarakat
untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari mereka yang
telah mendahului. Selain itu ada kepercayaan masyarakat bahwa dengan adanya
bunga di atas makam turut membantu aroma wangi pada arwah di alam kubur dan
malaikat tidak sungkan mendekat. Bunga yang sering digunakan untuk nyekar adalah bunga kanthildan
telasih. Bunga kanthil bermakna mengikat rasa selalu terhubung dengan para
leluhur. Diharapkan dapat mencontoh perilaku baik para leluhur semasa hidupnya.
Bunga kanthil berarti tansah kumanthil. Yang kumanthil adalah hatinya.
Sukur-sukur berkahnya (safa’atnya) dapat “kanthil” (mengikuti) sumrambah mengalir ke dalam jiwa raga
si peziarah. Bunga Telasih bermakna welas asih, dengan harapan dapat kawelasan atau belas kasih dari Gusti
Hyang Manon. Belas kasih pula dari para leluhur yang akan njangkung dan njampangi setiap langkah kita agar tidak salah langkah menjalani
proses kehidupan yang sangat pelik ini.
Ziarah ke makam merupakan bentuk interpretasi dari praktik
hadis yang menyatakan baha salah satu amal yang masih diterima dari orang yang
sudahmeninggal adalah anak sholeh dan sholehah yang selalu mendoakan. Selain
itu, ziarah juga memberikan tanda bahwa kita harus tetap mengingat leluhur kita
dan saudara-saudara kita serta mengingatkan kita akan adanya kematian. Sehingga
kita terangsang untuk berbuat baik.
- Tradisi bersih kampong/desa
memberikan gambaran tentang kebersamaan dan kegotong-royongan.mengingatkan
kita untuk selalu saling tolong-menolong antarsesama. Selain itu bersih
desa juga mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya lingkungan tempat
di mana kita tinggal, sehingga membangun jiwa kita untuk melestarikannya.
Pembacaan tahlil dan yasin merupakan tanda yang menunjukkan
ciri agama islam, sedangkan bentuk slametan merupakan adaptasi dari adapt
istiadat sekitar yang sudah ada sebelum agama islam masuk. Slametan sendiri
merupakan bentuk adaptasi dari sesaji yang dilakukan oleh para wali untuk
menyebarkan agama islam di tanah jawa agar mudah diterima oleh masyarakat yang
pada saa titu masih beragama Hindu dan Budha bahkan kepercayaan
Animisme-Dinamisme.
Makna
Ruwatan
Ruwatan adalah salah satu upacara tradisional dengan tujuan utama
mendapatkan keselamatan supaya orang terbebas dari segala macam kesialan
hidup, nasib jelek dan selanjutnya agar dapat mencapai kehidupan yang ayom ayem tentrem (aman, bahagia,
damai di hati). Lebih konkritnya ruwatan sebagai suatu upaya membersihkan
diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) yang
diakibatkan dari perbuatannya sendiri, hasil perbuatan jahat orang lain maupun,
Ruwatan yang paling terkenal sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang
adalah ruwatan murwakala.
Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita Murwakala di mana orang-orang yang
termasuk kategori sengkolo-sukerto
diruwat atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Betara Kala, gambaran raksasa menakutkan yang suka memangsa para
sukerto.
Tradisi
Ruwat
Ritual pangruwatan dalam
masyarakat di Wonoploso yang paling sering dan mudah dilakukan biasanya
adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji
dan melakukan ritual khusus. Cara di atas bisa dilakukan apabila sengkolo-sukerto yang ada masih
termasuk jenis yang ringan dan mudah dibersihkan. Sementara itu untuk sengkolo-sukerto kelas berat
pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar
pentas wayang kulit yang melakonkan tentang ruwatan itu sendiri. Sang dalang
dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon.
Misalnya lakon murwakala.
Ruwatan dengan pagelaran wayang dilakukan sebagai suatu bentuk mendapatkan
dispensasi atau keringanan hukuman. Dalam tradisi hukum positif (formal)
sepadan dengan membayar denda kepada negara atau memohon grasi kepada Presiden.
Dalam hal ruwatan, Bethara Kala posisinya sebagai Presiden dari bangsa lelembut. Negosiasi tertuju pada
Bethara Kala sebagai salah satu eksekutor hukum alam.
Ruwatan yang paling sering dilakukan oleh masyarakat
Wonoploso adalah ruwatan pada diri sendiri yang memiliki fungsi sebagai upaya
membersihkan diri dari sengkala
dan sukerta (dosa dan sial agar
mendapatkan kebersihan jiwa.
Ruwatan untuk diri sendiri dapat dilaksanakan dengan pakem
sederhana maupun dengan pakem standar yakni dengan pagelaran wayang kulit
dengan lakon dan uborampe khusus ruwatan. Semua itu
merupakan pilihan bagi siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan
oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, biasanya ruwat murwakala dilakukan dengan
mengadakan pagelaran wayang kulit. Pagelaran wayang kulit ini berbeda dengan
pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran wayang kulit dilaksanakan pada
siang hari dan dilakukan oleh dalang yang benar-benar mampu (bukan sekedar
bisa) meruwat.
Dari beberapa tradisi di atas tersirat bahwa tradisi – tradisi
tersebut banyak memiliki fungsi dan manfaat bagi masyarakat diantaranya
masyarakat dapat membangun kebersamaan dengan meningkatkan gotong – royong dalam
melaksanakan kearifan lokal, mempererat tali silahturohmi antar sesama
masyarakat bahkan yang lebih baik unsur kekeluargaan tidak akan pernah hilang.
Sebagian besar
dari masyarakat telah mempercayai, bila tradisi ( kearifan local) tidak
dilakukan dengan benar sampai – sampai tidak dilaksanakan akan terjadi suatu
bencana besar, suatu misal bencana alam akan melanda kampong mereka, wabah
penyakit menyerang warga, bahkan ketidaktentraman dalam diri masing – masing
masyarakat.
PENUTUP
Demikian yang
dapat kami paparkan mengenai kearifan local yang ada pada desa Wonoploso yang
tidak lain adalah pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak
kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan
atau referensi yang ada hubungannya dengan materi makalah.
Penulis banyak
berharap pada pembaca yang budiman guna memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah –
makalah lain di kesempatan yang berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi
penulis pada khususnya juga pembaca yang budiman pada umumnya.
Sekian penutup
dari kami semoga berkenan di hati, kami ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Mojokerto,
30 Desember 2013
Wisnu
Prasetyo Bekti
DAFTAR RUJUKAN
http://interesthin.blogspot.com/2013/01/apa-itu-kearifan-lokal.html
http://naninorhandayani.blogspot.com/2011/05/pengertian-kearifan-lokal.html
0 comments:
Post a Comment